Jumat, 08 Juni 2012

EKONOMI KERAKYATAN



Seperti cita-cita “Adil Makmur”, Ekonomi Kerakyatan adalah ilusi karena hingga kini masih mimpi, adalah misteri karena belum ada strategi implementasi.
Koperasi adalah satu-satunya petunjuk dari pada pendiri Negara Indonesia tentang ekonomi kerakyatan. Bagaimanakah sudut pandang para pakar ekonomi kita yang belajar ekonomi dari sudut pandang kapitalisme terhadap koperasi dan ekonomi kerakyatan? Jangan heran jika definisi tentang ekonomi kerakyatan pun simpang siur tak karuan.
Apakah mengumpulkan uang dari para anggota Koperasi Simpan Pinjam untuk dipinjamkan kepada masyarakat adalah ekonomi kerakyatan? Sori, Kegiatan tersebut lebih mirip investasi mendirikan bank oleh anggota koperasi, layaknya ekonomi kapitalis.
Mencoba memahami maksud para  pendiri negeri dengan hati, tersirat makna koperasi adalah mirip dengan bank. Hanya saja, bank tidak mau menanggung kerugian, uang yang dipinjamkan harus kembali utuh ditambah bunga.  Jangan heran kalo ada agamanawan yang menolak sistem perbankan, hal ini karena pinjaman dari bank bukanlah bentuk kerja sama yang adil, dimana kerugian hanya ditanggung peminjam sementara pihak bank tetap mendapat keuntungan.
Sedangkan koperasi akan menanggung kerugian bersama sebagaimana menerima keuntungan bersama-sama. Namun platform koperasi memiliki sistem untuk memperkecil kemungkinan kegagalan dari anggotanya. Oleh karena itu, koperasi sendiri memiliki usaha yang menjadi mata rantai induk usaha anggotanya.
Perbedaan bank dengan koperasi ini muncul karena adanya perbedaan value. Value tujuan manajemen kapitalis adalah mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya bagi investor, sedangkan value koperasi adalah memberikan keuntungan sebanyak-banyaknya bagi anggotanya. Namun karena kapitalisme dan koperasi sama-sama mengelola investasi, maka platform koperasi bisa di-attach ke dalam sistem kapitalis. Bahkan tidak tertutup kemungkinan sistem koperasi mendominasi sistem kapitalis. Hal ini sudah dibuktikan dengan UKM-UKM di China yang bekerja sama dengan platform mirip sistem koperasi. Apakah kita perlu belajar sampai ke negeri China?
Cobalah buka paham Marhaenisme yang dikembangkan Bung Karno dan membaca konsep Koperasinya Bung Hatta, maka kita akan memahami bahwa koperasi adalah sistem pengorganisasian kapitalisasi yang dimiliki oleh masing-masing anggotanya.

ekonomi.kompasiana.com/.../ekonomi-kerakyatan-ilusi-atau-misteri/

Ekonomi Kerakyatan

Ekonomi rakyat tumbuh secara natural karena adanya sejumlah potensi ekonomi disekelilingnya.  Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif artifisial apapun, atau dengan kata lain hanya mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, serta peluang pasar.  Perlu dipahami bahwa dalam ruang ekonomi nasional pun terdapat sejumlah aktor ekonomi (konglomerat) dengan bentuk usaha yang kontras dengan apa yang diragakan oleh sebagian besar pelaku ekonomi rakyat.  Memiliki modal yang besar, mempunyai akses pasar yang luas, menguasai usaha dari hulu ke hilir, menguasai teknologi produksi dan menejemen usaha modern. Kenapa mereka tidak digolongkan juga dalam ekonomi kerakyatan?.  Karena jumlahnya hanya sedikit sehingga tidak merupakan representasi dari kondisi ekonomi rakyat yang sebenarnya.  Atau dengan kata lain, usaha ekonomi yang diragakan bernilai ekstrim terhadap totalitas ekonomi nasional.  Golongan yang kedua ini biasanya (walaupun tidak semua) lebih banyak tumbuh karena mampu membangun partner usaha yang baik dengan penguasa sehingga memperoleh berbagai bentuk kemudahan usaha dan insentif serta proteksi bisnis.  Mereka lahir dan berkembang dalam suatu sistem ekonomi yang selama ini lebih menekankan pada peran negara yang dikukuhkan (salah satunya) melalui pengontrolan perusahan swasta dengan rezim insentif yang memihak serta membangun hubungan istimewa dengan pengusaha-pengusaha yang besar yang melahirkan praktik-praktik anti persaingan.
Lahirnya sejumlah pengusaha besar (konglomerat) yang bukan merupakan hasil derivasi dari kemampuan menejemen bisnis yang baik  menyebabkan fondasi ekonomi nasional yang dibangun berstruktur rapuh terhadap persaingan pasar.  Mereka tidak bisa diandalkan untuk menopang perekonomian nasional dalam sistem ekonomi pasar.  Padahal ekonomi pasar diperlukan untuk menentukan harga yang tepat (price right) untuk menentukan posisi tawar-menawar yang imbang.  Saya perlu menggaris bawahi bahwa yang patut mendapat kesalahan terhadap kegagalan pembangunan ekonomi nasional selama regim orde baru adalah implementasi kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang tidak tepat dalam sistem ekonomi pasar, bukan ekonomi pasar itu sendiri.  Dalam pemahaman seperti ini, saya merasa kurang memiliki justifikasi empirik untuk mempertanyakan kembali sistem ekonomi pasar, lalu mencari suatu sistem dan paradigma baru di luar sistem ekonomi pasar untuk dirujuk dalam pembangunan ekonomi nasional.  Bagi saya dunia “pasar” Adam Smith adalah suatu dunia yang indah dan adil untuk dibayangkan. Tapi sayangnya sangat sulit untuk diacu untuk mencapai keseimbangan  dalam tatanan perekonomian nasional. Karena konsep “pasar” yang disodorkan oleh Adam Smit sesungguhnya tidak pernah ada dan tidak pernah akan ada.  Namun demikian tidak harus diartikan bahwa konsep pasar Adam Smith yang relatif bersifat utopis ini harus diabaikan.  Persepektif yang perlu dianut adalah bahwa keindahan, keadilan dan keseimbangan yang dibangun melalui mekanisme “pasar”nya Adam Smith adalah sesuatu yang harus diakui keberadaannya, minimal telah dibuktikan melalui suatu review teoritis. Yang perlu dilakukan adalah upaya untuk mendekati kondisi indah, adil, dan seimbang melalui berbagai regulasi pemerintah sebagai wujud intervensi yang berimbang dan kontekstual.  Bukan sebaliknya membangun suatu format lain di luar “ekonomi pasar” untuk diacu dalam pembangunan ekonomi nasional, yang keberhasilannya masih mendapat tanda tanya besar atau minimal belum dapat dibuktikan melalui suatu kajian teoritis-empiris.
Mari kita membedah lebih jauh tentang konsep ekonomi kerakyatan.  Pengalaman pembangunan ekonomi Indonesia yang dijalankan berdasarkan mekanisme pasar sering tidak berjalan dengan baik, khusunya sejak masa orde baru. Kegagalan pembangunan ekonomi yang diragakan berdasarkan mekanisme pasar ini antara lain karena kegagalan pasar itu sendiri, intervensi pemerintah yang tidak benar, tidak efektifnya pasar tersebut berjalan, dan adanya pengaruh eksternal. Kemudian sejak sidang istimewa (SI) 1998, dihasilkan suatu TAP MPR mengenai Demokrasi Ekonomi, yang antara lain berisikan tentang keberpihakan yang sangat kuat terhadap usaha kecil-menengah serta koperasi.  Keputusan politik ini sebenarnya menandai suatu babak baru pembangunan ekonomi nasional dengan perspektif yang baru, di mana bangun ekonomi yang mendominasi regaan struktur ekonomi nasional mendapat tempat tersendiri.  Komitmen pemerintah untuk mengurangi gap penguasaan aset ekonomi antara sebagian besar pelaku ekonomi di tingkat rakyat dan sebagian kecil pengusaha besar (konglomerat), perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak.  Hasil yang diharapkan adalah terciptanya struktur ekonomi yang berimbang antar pelaku ekonomi dalam negeri, demi mengamankan pencapaian target pertumbuhan (growth) (Gillis et al., 1987).  Bahwa kegagalan kebijakan pembangunan ekonomi nasional masa orde baru dengan keberpihakan yang berlebihan terhadap kelompok pengusaha besar perlu diubah.  Sudah saatnya dan cukup adil jika pengusaha kecil –menengah dan bangun usaha koperasi mendapat kesempatan secara ekonomi untuk berkembang sekaligus mengejar ketertinggalan yang selama ini mewarnai buruknya tampilan struktur ekonomi nasional.  Sekali lagi, komitmen politik pemerintah ini perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak.  Hal yang masih kurang jelas dalam TAP MPR dimaksud adalah apakah perspektif pembangunan nasional dengan keberpihakan kepada usaha kecil-menengah dan koperasi ini masih dijalankan melalui mekanisme pasar?  Dalam arti apakah intervensi pemerintah dalam bentuk keberpihakan kepada usaha kecil-menengah dan koperasi ini adalah benar-benar merupakan affirmative action untuk memperbaiki distorsi pasar yang selama ini terjadi karena bentuk campur tangan pemerintah dalam pasar yang tidak benar?  Ataukah pemerintah mulai ragu dengan bekerjanya mekanisme pasar itu sendiri sehingga berupaya untuk meninggalkannya dan mencoba merujuk pada suatu mekanisme sistem ekonomi yang baru ?.  Nampaknya kita semua berada pada pilahan yang dilematis.  Mau meninggalkan mekanisme pasar dalam sistem ekonomi nasional, kita masih ragu-ragu, karena pengalaman keberhasilan pembangunan ekonomi negara-negara maju saat ini selalu merujuk pada bekerjanya mekanisme pasar.  Mau merujuk pada bekerja suatu mekanisme yang baru (apapun namanya), dalam prakteknya belum ada satu negarapun yang cukup berpengalaman serta yang paling penting menunjukkan keberhasilan nyata, bahkan kita sendiri belum berpengalaman (ibarat membeli kucing dalam karung).  Bukti keragu-raguan ini tercermin dalam TAP MPR hasil sidang istimewa itu sendiri, dimana demokrasi ekonomi nasional tidak semata-mata dijalankan dengan keberpihakan habis-habisan pada usaha kecil-menengah dan koperasi, tapi perusahaan swasta besar dan BUMN tetap mendapat tempat bahkan mempunyai peran yang sangat strategis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar