Seperti cita-cita
“Adil Makmur”, Ekonomi Kerakyatan adalah ilusi karena hingga kini masih mimpi,
adalah misteri karena belum ada strategi implementasi.
Koperasi adalah satu-satunya petunjuk
dari pada pendiri Negara Indonesia tentang ekonomi kerakyatan. Bagaimanakah
sudut pandang para pakar ekonomi kita yang belajar ekonomi dari sudut pandang
kapitalisme terhadap koperasi dan ekonomi kerakyatan? Jangan heran jika
definisi tentang ekonomi kerakyatan pun simpang siur tak karuan.
Apakah mengumpulkan uang dari para
anggota Koperasi Simpan Pinjam untuk dipinjamkan kepada masyarakat adalah
ekonomi kerakyatan? Sori, Kegiatan tersebut lebih mirip investasi mendirikan
bank oleh anggota koperasi, layaknya ekonomi kapitalis.
Mencoba memahami maksud para
pendiri negeri dengan hati, tersirat makna koperasi adalah mirip dengan
bank. Hanya saja, bank tidak mau menanggung kerugian, uang yang dipinjamkan
harus kembali utuh ditambah bunga. Jangan heran kalo ada agamanawan yang
menolak sistem perbankan, hal ini karena pinjaman dari bank bukanlah bentuk
kerja sama yang adil, dimana kerugian hanya ditanggung peminjam sementara pihak
bank tetap mendapat keuntungan.
Sedangkan koperasi akan menanggung
kerugian bersama sebagaimana menerima keuntungan bersama-sama. Namun platform
koperasi memiliki sistem untuk memperkecil kemungkinan kegagalan dari
anggotanya. Oleh karena itu, koperasi sendiri memiliki usaha yang menjadi mata
rantai induk usaha anggotanya.
Perbedaan bank dengan koperasi ini
muncul karena adanya perbedaan value. Value tujuan manajemen kapitalis adalah
mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya bagi investor, sedangkan value
koperasi adalah memberikan keuntungan sebanyak-banyaknya bagi anggotanya. Namun
karena kapitalisme dan koperasi sama-sama mengelola investasi, maka platform
koperasi bisa di-attach ke dalam sistem kapitalis. Bahkan tidak tertutup
kemungkinan sistem koperasi mendominasi sistem kapitalis. Hal ini sudah
dibuktikan dengan UKM-UKM di China yang bekerja sama dengan platform mirip sistem
koperasi. Apakah kita perlu belajar sampai ke negeri China?
Cobalah buka paham Marhaenisme yang
dikembangkan Bung Karno dan membaca konsep Koperasinya Bung Hatta, maka kita
akan memahami bahwa koperasi adalah sistem pengorganisasian kapitalisasi yang
dimiliki oleh masing-masing anggotanya.
ekonomi.kompasiana.com/.../ekonomi-kerakyatan-ilusi-atau-misteri/
Ekonomi Kerakyatan
Ekonomi rakyat tumbuh secara natural
karena adanya sejumlah potensi ekonomi disekelilingnya. Mulanya mereka
tumbuh tanpa adanya insentif artifisial apapun, atau dengan kata lain hanya
mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan sumberdaya alam, sumberdaya manusia,
serta peluang pasar. Perlu dipahami bahwa dalam ruang ekonomi nasional
pun terdapat sejumlah aktor ekonomi (konglomerat) dengan bentuk usaha yang
kontras dengan apa yang diragakan oleh sebagian besar pelaku ekonomi rakyat.
Memiliki modal yang besar, mempunyai akses pasar yang luas, menguasai usaha
dari hulu ke hilir, menguasai teknologi produksi dan menejemen usaha modern.
Kenapa mereka tidak digolongkan juga dalam ekonomi kerakyatan?. Karena
jumlahnya hanya sedikit sehingga tidak merupakan representasi dari kondisi
ekonomi rakyat yang sebenarnya. Atau dengan kata lain, usaha ekonomi yang
diragakan bernilai ekstrim terhadap totalitas ekonomi nasional. Golongan
yang kedua ini biasanya (walaupun tidak semua) lebih banyak tumbuh karena mampu
membangun partner usaha yang baik dengan penguasa sehingga memperoleh berbagai
bentuk kemudahan usaha dan insentif serta proteksi bisnis. Mereka lahir
dan berkembang dalam suatu sistem ekonomi yang selama ini lebih menekankan pada
peran negara yang dikukuhkan (salah satunya) melalui pengontrolan perusahan
swasta dengan rezim insentif yang memihak serta membangun hubungan istimewa
dengan pengusaha-pengusaha yang besar yang melahirkan praktik-praktik anti
persaingan.
Lahirnya sejumlah pengusaha besar
(konglomerat) yang bukan merupakan hasil derivasi dari kemampuan menejemen
bisnis yang baik menyebabkan fondasi ekonomi nasional yang dibangun
berstruktur rapuh terhadap persaingan pasar. Mereka tidak bisa diandalkan
untuk menopang perekonomian nasional dalam sistem ekonomi pasar. Padahal
ekonomi pasar diperlukan untuk menentukan harga yang tepat (price right)
untuk menentukan posisi tawar-menawar yang imbang. Saya perlu menggaris
bawahi bahwa yang patut mendapat kesalahan terhadap kegagalan pembangunan
ekonomi nasional selama regim orde baru adalah implementasi kebijakan
pembangunan ekonomi nasional yang tidak tepat dalam sistem ekonomi pasar, bukan
ekonomi pasar itu sendiri. Dalam pemahaman seperti ini, saya merasa
kurang memiliki justifikasi empirik untuk mempertanyakan kembali sistem ekonomi
pasar, lalu mencari suatu sistem dan paradigma baru di luar sistem ekonomi
pasar untuk dirujuk dalam pembangunan ekonomi nasional. Bagi saya dunia
“pasar” Adam Smith adalah suatu dunia yang indah dan adil untuk dibayangkan.
Tapi sayangnya sangat sulit untuk diacu untuk mencapai keseimbangan dalam
tatanan perekonomian nasional. Karena konsep “pasar” yang disodorkan oleh Adam
Smit sesungguhnya tidak pernah ada dan tidak pernah akan ada. Namun demikian
tidak harus diartikan bahwa konsep pasar Adam Smith yang relatif bersifat
utopis ini harus diabaikan. Persepektif yang perlu dianut adalah bahwa
keindahan, keadilan dan keseimbangan yang dibangun melalui mekanisme “pasar”nya
Adam Smith adalah sesuatu yang harus diakui keberadaannya, minimal telah
dibuktikan melalui suatu review teoritis. Yang perlu dilakukan adalah upaya
untuk mendekati kondisi indah, adil, dan seimbang melalui berbagai regulasi
pemerintah sebagai wujud intervensi yang berimbang dan kontekstual. Bukan
sebaliknya membangun suatu format lain di luar “ekonomi pasar” untuk diacu
dalam pembangunan ekonomi nasional, yang keberhasilannya masih mendapat tanda
tanya besar atau minimal belum dapat dibuktikan melalui suatu kajian
teoritis-empiris.
Mari kita membedah lebih jauh tentang
konsep ekonomi kerakyatan. Pengalaman pembangunan ekonomi Indonesia yang
dijalankan berdasarkan mekanisme pasar sering tidak berjalan dengan baik,
khusunya sejak masa orde baru. Kegagalan pembangunan ekonomi yang diragakan berdasarkan
mekanisme pasar ini antara lain karena kegagalan pasar itu sendiri, intervensi
pemerintah yang tidak benar, tidak efektifnya pasar tersebut berjalan, dan
adanya pengaruh eksternal. Kemudian sejak sidang istimewa (SI) 1998, dihasilkan
suatu TAP MPR mengenai Demokrasi Ekonomi, yang antara lain berisikan tentang
keberpihakan yang sangat kuat terhadap usaha kecil-menengah serta
koperasi. Keputusan politik ini sebenarnya menandai suatu babak baru
pembangunan ekonomi nasional dengan perspektif yang baru, di mana bangun
ekonomi yang mendominasi regaan struktur ekonomi nasional mendapat tempat
tersendiri. Komitmen pemerintah untuk mengurangi gap penguasaan aset
ekonomi antara sebagian besar pelaku ekonomi di tingkat rakyat dan sebagian
kecil pengusaha besar (konglomerat), perlu mendapat dukungan dari berbagai
pihak. Hasil yang diharapkan adalah terciptanya struktur ekonomi yang
berimbang antar pelaku ekonomi dalam negeri, demi mengamankan pencapaian target
pertumbuhan (growth) (Gillis et al., 1987). Bahwa kegagalan
kebijakan pembangunan ekonomi nasional masa orde baru dengan keberpihakan yang
berlebihan terhadap kelompok pengusaha besar perlu diubah. Sudah saatnya
dan cukup adil jika pengusaha kecil –menengah dan bangun usaha koperasi
mendapat kesempatan secara ekonomi untuk berkembang sekaligus mengejar
ketertinggalan yang selama ini mewarnai buruknya tampilan struktur ekonomi
nasional. Sekali lagi, komitmen politik pemerintah ini perlu mendapat
dukungan dari berbagai pihak. Hal yang masih kurang jelas dalam TAP MPR
dimaksud adalah apakah perspektif pembangunan nasional dengan keberpihakan
kepada usaha kecil-menengah dan koperasi ini masih dijalankan melalui mekanisme
pasar? Dalam arti apakah intervensi pemerintah dalam bentuk keberpihakan
kepada usaha kecil-menengah dan koperasi ini adalah benar-benar merupakan affirmative
action untuk memperbaiki distorsi pasar yang selama ini terjadi karena
bentuk campur tangan pemerintah dalam pasar yang tidak benar? Ataukah
pemerintah mulai ragu dengan bekerjanya mekanisme pasar itu sendiri sehingga
berupaya untuk meninggalkannya dan mencoba merujuk pada suatu mekanisme sistem
ekonomi yang baru ?. Nampaknya kita semua berada pada pilahan yang
dilematis. Mau meninggalkan mekanisme pasar dalam sistem ekonomi nasional,
kita masih ragu-ragu, karena pengalaman keberhasilan pembangunan ekonomi
negara-negara maju saat ini selalu merujuk pada bekerjanya mekanisme
pasar. Mau merujuk pada bekerja suatu mekanisme yang baru (apapun
namanya), dalam prakteknya belum ada satu negarapun yang cukup berpengalaman
serta yang paling penting menunjukkan keberhasilan nyata, bahkan kita sendiri
belum berpengalaman (ibarat membeli kucing dalam karung). Bukti
keragu-raguan ini tercermin dalam TAP MPR hasil sidang istimewa itu sendiri, dimana
demokrasi ekonomi nasional tidak semata-mata dijalankan dengan keberpihakan
habis-habisan pada usaha kecil-menengah dan koperasi, tapi perusahaan swasta
besar dan BUMN tetap mendapat tempat bahkan mempunyai peran yang sangat
strategis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar