Selasa, 02 Desember 2014

OPINI TENTANG JOB SEEKER VS JOB CREATOR


OPINI TENTANG JOB SEEKER VS JOB CREATOR

Pemerhati kewirausahaan menyatakan bahwa sebagian besar lulusan Perguruan Tinggi adalah lebih sebagai pencari kerja (job seeker) daripada pencipta lapangan pekerjaan (job creator). Hal ini disebabkan sistem pembelajaran yang diterapkan di berbagai perguruan tinggi saat ini, yang umumnya lebih terfokus pada ketepatan lulus dan kecepatan memperoleh pekerjaan, dan memarginalkan kesiapan untuk menciptakan pekerjaan.
Mengingat kondisi sosial ekonomi sedang lemah serta sulitnya mencari pekerjaan di sektor pemerintahan atau pegawai negeri yang membutuhkan berbagai persyaratan melalui jenjang pendidikan, maka situasi tersebut menimbulkan semakin banyak peluang bagi orang-orang untuk mencari atau membentuk usaha pribadi melalui gagasan atau ketrampilan yang dimiliki. Pembangunan sumber daya manusia perlu dilaksanakan secara menyeluruh, terarah, dan terpadu di berbagai bidang, terutama yang mencakup bidang pendidikan, latihan, serta penyediaan lapangan kerja. Salah satu usaha yang membutuhkan tantangan,ketrampilan,serta minat yang kuat tersebut adalah dengan berwirusaha.

Masih sulit mengubah mindset masyarakat dengan menjadikan wirausahawan sebagai profesi utama. Selama ini bukan profesi utama yang ingin digeluti sebagian besar masyarakat Indonesia. Sebagian besar lebih memilih menjadi tentara, dokter dan profesi lainnya. Kemampuan mengembangkan potensi diri ini menjadi masalahnya. Solusi yang harus dilakukan dengah mengubah mindset para mahasiswa dari pencari kerja menjadi pencipta lapangan kerja. Dari job seeker menjadi job creater. Meskipun tidak mudah mengubah mindset mahasiswa untuk keluar dari zona nyaman. “Mau tidak mahasiswa merubah mindsetnya. Kadang mahasiswa itu gengsi untuk berjualan. Masalah harus ada stimulus bahwa keinginan jadi wirausahawan bukan nomer dua atau nomer tiga. Jangan sampai mahasiswa berlindung dibalik status mahasiswanya. Kalau sudah lulus harus bersaing ketat,” ujar Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Universitas Pasundan Dr.Jaja Suteja di Kampus Unpas, Kamis (21/3/2013).

Menurutnya, untuk itu mahasiswa harus didorong punya jiwa wirausaha karena secara makroekonomi juga akan membantu pemerintah. Kedepan perguruan tinggi didorong tidak hanya menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai tapi juga dapat menciptakan lapangan kerja. Salah satunya dapat dilakukan melalui kurikulum sebagai sesuatu yang bisa mentransform mahasiswa yang kurang memiliki nilai menjadi outputnya memiliki nilai tambah melalui jiwa wirausaha. Dia mengemukakan untuk menumbuhkan jiwa wirausaha di Unpas diterapkan hidden kurikulum kewirausahaan pada kurikulum berbasis kompetensi. Kurikulum dimana beberapa matakuliah itu melakukan praktek wirausaha. “Kurikulum berbasis wirausaha bersifat hidden kurikulum yang bisa dimasukan di setiap mata kuliah. Tidak hanya fakultas ekonomi saja tapi juga fakultas lain,” katanya.
Untuk menumbuh kembangkan jiwa kewirausahaan dan meningkatkan aktivitas kewirausahaan agar para lulusan perguruan tinggi lebih menjadi pencipta lapangan kerja maka para mahasiswa diberi materi Kewirausahaan sebagai mata kuliah dimana diberikan satu minggu satu kali tatap muka. Dengan adanya mata kuliah Kewirausahaan diharap dapat merubah mindset para lulusan perguruan tinggi untuk cenderung memilih mandiri dan berusaha (job creator) daripada sebagai pencari kerja (job seeker).
Ada beberapa sebab yang melatar belakangi banyaknya penggangguran tingkat Diploma dan Perguruan Tinggi tersebur  dalam hal berwirausaha, diantaranya :
1.     Sebagaian besar para lulusan Perguruan Tinggi cenderung sebagai pencari kerja (job seeker) daripada sebagai pencipta lapangan pekerjaan (job creator).
2.     Kurang nya informasi, dukungan, motivasi dan pengetahuan tentang kewirausahaan
3.     Kurangnya informasi, dukungan dan pengetahuan dari pemerintah, keluarga dan tempat pendidikan tentang dunia kewirausahaan.
Beberapa alasan-alasan tersebut di atas menyebabkan mereka didorong untuk  menjadi pegawai negeri atau swasta setelah lulus dari Perguruan tinggi, belum ada dukungan yang maksimal baik dari keluarga, pemerintah maupun dunia Pendidikan untuk mandiri atau berwirausaha. Dengan rendahnya tingkat keinginan para lulusan terdidik (diploma dan sarjana) untuk berwirausaha, maka jumlah lapangan pekerjaan semakin sempit sedangkan  jumlah pengangguran semakin meningkat. Untuk itu perlu adanya sinergi dan dukungan  dari berbagai pihak untuk mewujudkan minat para generasi muda berwirausaha sehingga mereka dapat menciptakan lapangan kerja sendiri dan orang lain yangmana nantinya dapat mengurangi jumlah penggangguran terdidik di Indonesia. Diharapkan dengan adanya minat para lulusan perguruan tinggi untuk mandiri, berwirausaha maka akan meningkat pula aktivitas entrepreneurial (berwirausaha) sehingga dapat tercipta bisnis baru, peluang pekerjaan dan berkurangnya penggangguran. job creator berarti mengurangi pengangguran karena kita dapat membuka peluang kerja bagi orang lain. So, satu langkah justru bisa menjadi berkah bagi banyak pihak.

Strategi Perubahan Mindset Lulusan Perguruan Tinggi dari Job Seeker menjadi Job creator
Setiap Perguruan tinggi harus bisa melahirkan mahasiswa yang kreatif.  Pentingnya menciptalan Fleksibilitas dalam belajar di perguruan tinggi akan ikut mendorong lahirnya kreativitas dan inovasi bagi setiap lulusannya. Pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi bertujuan untuk membentuk manusia secara utuh (holistik), sebagai insan yang memiliki karakter, pemahaman dan ketrampilan sebagai wirausaha. Pendidikan kewirausahaan dapat diimplementasikan secara terpadu dengan kegiatan-kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh dosen dan mahasiswa secara bersama-sama dalam komunitas pendidikan sehingga diharapkan akan menciptakan mindset sebagai seorang pencipta kerja (job creator). Berikut ini adalah strategi mengubah Mindset Lulusan Perguruan Tinggi dari Job Seeker menjadi Job creator.
Perbedaan yang dapat dilihat pada saat jadi pengusaha dan  menjadi karyawan yaitu:
Pengusaha:
1. membuka lapangan pekerjaan
2. mandiri + independen
3. bebas
4. lebih kreatif dan dinamis

 
Karyawan
1. terikat waktu dan tugas
2. tidak independen
3. terkungkung dan terkekang
4. hanya jadi "pelayan" bagi atasan

Sumber:
http://ekonomi.kompasiana.com      

JURNAL TENTANG KECURANGAN


TUGAS 3 : Analisis Jurnal " SKEPTISME PROFESIONAL AUDITOR DALAM  MENDETEKSI KECURANGAN

Ringkasan Jurnal :

Judul               : Skeptisme profesional auditor dalam mendeteksi kecurangan
Penulis            Suzy Noviyanti
Universitas     Universitas Kristen Satya Wacana
No Jurnal        Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Juni 2008,Vol. 5, No. I, hal. 102-125

Abstract

Professional skepticism is an attitude that includes a questioning mind and a critical assessment of audit evidence. Auditors should maintain a certain level of professional skepticism in detecting financial statement fraud since the perpetrators conceal the resulting irregularities. Two experiments were conducted. First, a 3x3 between subjects experiment design was conducted to investigate how fraud risk assessment affects the level of professional skepticism on different levels of trust in auditor-client relationship. Participants were randomly assigned to one of nine conditions. Second, a within subject experiment design was conducted to examine the effect of personality type un professional skepticism. A total of 118 junior, senior and supervisor auditors from public accounting firm participated in the experiment. The results of Analysis of Variance (ANOVA) suggest that auditors with identification based trust in the high fraud risk assessment group were more skeptical than in the low fraud risk assessment group. While the auditors with calculus based trust showed no differences in skepticism between the high group and the low fraud risk assessment group. Auditors with ST (Sensing-Thinking) and NT (Intuitive-Thinking) types o f personality were more skeptical than other types.

Keywords: Professional Skepticism, Trust, Fraud Risk Assessment
PENDAHULUAN

Seorang auditor dalam menjalankan penugasan audit di lapangan seharusnya tidak hanya sekedar mengikuti prosedur audit yang tertera dalam program audit, tetapi juga harus disertai dengan sikap skeptisme profesionalnya. Standar professional akuntan publik mendefinisikan skeptisme profesional sebagai sikap auditor yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit (IAI 2001, SA seksi 230.06). Seorang auditor yang skeptis, tidak akan menerima begitu saja penjelasan dari klien, tetapi akan mengajukan pertanyaan untuk memperoleh alasan, bukti dan konfirmasi mengenai obyek yang dipermasalahkan. Tanpa menerapkan skeptisme profesional, auditor hanya akan menemukan salah saji yang disebabkan oleh kekeliruan saja dan sulit untuk menemukan salah saji yang disebabkan oleh kecurangan, karena kecurangan biasanya akan disembunyikan oleh pelakunya. Kegagalan auditor dalam mendeteksi kecurangan terbukti dengan adanya beberapa skandal keuangan yang melibatkan akuntan publik seperti Enron, Xerox, Walt Disney, World Com, Merck, dan Tyco yang terjadi di Amerika Serikat; selain itu juga kasus Kimia Farma dan sejumlah Bank Beku Operasi yang melibatkan akuntan publik di Indonesia, serta sejumlah kasus kegagalan keuangan lainnya. Penelitian Beasley et al. (2001) yang didasarkan pada AAERs (Accounting and Auditing Releases) dari SEC selama 11 periode (Januari 1987 – Desember 1997) menyatakan bahwa salah satu penyebab kegagalan auditor dalam mendeteksi kecurangan adalah rendahnya tingkat skeptisme profesional audit. Berdasarkan penelitian ini, dari 45 kasus kecurangan dalam laporan keuangan, 24 kasus (60%) diantaranya terjadi karena auditor tidak menerapkan tingkat skeptisme professional yang memadai dan ini merupakan urutan ketiga dari audit defisiensi yang paling sering terjadi (Beasley et al. 2001). Jadi rendahnya tingkat skeptisme professional dapat menyebabkan kegagalan dalam mendeteksi kecurangan. Kegagalan ini selain
merugikan kantor akuntan publik secara ekonomis, juga menyebabkan hilangnya reputasi akuntan publik di mata masyarakat dan hilangnya kepercayaan kreditor dan investor di pasar modal. Auditor independen yang melakukan audit di lapangan akan melakukan interaksi sosial dengan klien, manajemen dan staf klien. Interaksi sosial ini akan menimbulkan trust (kepercayaan) dari auditor terhadap klien. Tingkat kepercayaan auditor yang tinggi terhadap klien akan menurunkan sikap skeptisme profesionalnya. Kopp et al. (2003) mengembangkan model teoritis mengenai hubungan antara faktor trust dengan sikap skeptisme profesional auditor. Model ini belum diuji secara empiris, dan sampai saat ini masih sedikit penelitian yang membahas mengenai hubungan antara kepercayaan dan skeptisme profesional. Penelitian sebelumnya dari Payne dan Ramsay (2005) membuktikan bahwa skeptisme profesional dipengaruhi oleh fraud risk assessment (penaksiran risiko kecurangan) yang diberikan oleh atasan auditor (auditor in charge) sebagai pedoman dalam melakukan audit di lapangan. Auditor  yang diberi penaksiran risiko kecurangan yang rendah menjadi kurang skeptis dibandingkan dengan auditor yang tidak mempunyai pengetahuan tentang risiko kecurangan (kelompok kontrol), sedangkan auditor pada kelompok kontrol kurang skeptis dibandingkan dengan auditor yang diberi penaksiran risiko kecurangan yang tinggi. Penelitian dengan hasil senada juga dilakukan oleh Rose dan Rose (2003). Standar profesioral menghendaki agar auditor tidak boleh mengasumsikan begitu saja bahwa manajemen adalah tidak jujur, tetapi juga tidak boleh mengasumsikan bahwa manajemen sepenuhnya jujur (IAI 2000). Jadi auditor diminta agar tidak memiliki tingkat kepercayaan yang terlalu tinggi terhadap kliennya. Tetapi dalam praktiknya, seorang auditor seringkali menghadapi konflik sehubungan dengan tingkat kepercayaannya terhadap klien. Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi pengaruh interaksi dari kepercayaan dan penaksiran risiko kecurangan terhadap skeptisme profesional auditor, apakah auditor yang mempunyai tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap klien, manajemen dan staf klien, dapat mempertahankan sikap skeptisme profesionalnya jika diberi penaksiran risiko kecurangan yang tinggi. Selain itu juga ingin diketahui apakah auditor yang mempunyai tingkat kepercayaan yang rendah jika diberi penaksiran risiko kecurangan yang rendah akan menurunkan skeptisme profesionalnya. Tipe kepribadian seseorang diduga juga mempengaruhi sikap skeptisme profesionalnya. Lykken et al. (1993) dalam Petty et al. (1997) mengakui bahwa
sikap mempunyai dasar genetik. Dengan kata lain perbedaan karakteristik individual yang mengacu pada faktor-faktor yang melekat pada diri seseorang akan mempengaruhi sikap seseorang. Tesser (1993) dalam Petty et al. (1997) menyatakan bahwa sikap yang mempunyai dasar genetik cenderung lebih kuat dibandingkan dengan sikap yang tidak mempunyai dasar genetik. Jadi dapat dikatakan bahwa perbedaan kepribadian individual menjadi dasar dari sikap seseorang termasuk sikap skeptisme profesionalnya. Sampai saat ini penelitian mengenai pengaruh faktor tipe kepribadian terhadap skeptisme profesional belum banyak ditemukan. Penelitian ini juga bertujuan untuk menginvestigasi hubungan antara tipe kepribadian auditor dengan skeptisme profesional sehingga dapat diketahui apakah auditor dengan tipe kepribadian kombinasi Sensing-Thinking (ST) dan Intuitive-Thinking (NT) lebih skeptis dibanding auditor dengan tipe Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi bagaimana pengaruh dari penaksiran risiko kecurangan pada berbagai tingkat kepercayaan auditor dan bagaimana pengaruh tipe kepribadian terhadap skeptisme professional auditor dalam mendeteksi kecurangan. Manfaat penelitian bagi perkembangan literatur akuntansi adalah memberikan masukan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi skeptisme professional auditor independen. Penelitian sebelumnya dari Kopp et al. (2003) mengembangkan model teoritis mengenai pengaruh dari faktor trust (kepercayaan) auditor terhadap klien terhadap skeptisme profesional auditor, tetapi model ini belum diuji secara empiris. Penelitian Payne dan Ramsay (2005) menguji pengaruh penaksiran risiko kecurangan terhadap sikap skeptisme profesional auditor. Sedangkan penelitian ini menginvestigasi pengaruh interaksi dari faktor tingkat kepercayaan auditor terhadap klien dan penaksiran risiko kecurangan terhadap skeptisme profesional auditor independen. Penelitian mengenai hal tersebut sampai saat ini belum ditemui oleh penulis. Selain hal tersebut, penelitian ini juga menguji tipe kepribadian auditor independen terhadap sikap skeptisme profesional dimana penelitian mengenai hal ini sampai saat ini belum ditemukan oleh penulis. Bagi regulator, penelitian ini memberikan masukan dalam menyusun standar dan aturan yang terkait dengan tindakan auditor dalam melakukan penugasan audit terutama yang berhubungan dengan pendeteksian kecurangan. Bagi pimpinan kantor akuntan publik dan auditor, dengan memahami faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi skeptisme profesional auditor, diharapkan pimpinan kantor dapat memotivasi auditor agar meningkatkan skeptisme profesionalnya dalam melakukan penugasan audit sehingga dapat meningkatkan kualitas audit. Bagi para akademisi, peneliti, dan para pelatih program profesional untuk akuntan publik, penelitian ini memberikan masukan bagi perkembangan pendidikan akuntansi terutama di bidang auditing.

Variabel Penelitian :
Variabel yang digunakan adalah variabel Independen dan variabel Dependen.
Variabel Independen
Variabel independen yang dimanipulasi dalam penelitian ini: trust (kepercayaan), fraud risk assessment (penaksiran risiko kecurangan), dan tipe kepribadian. Definisi trust (kepercayaan) yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan definisi Rotter (1967) dalam Shaub (1996), yaitu harapan seseorang atau kelompok bahwa kata-kata yang dijanjikan, baik verbal maupun tertulis oleh orang lain dapat digunakan sebagai acuan. Trust dibagi menjadi 3 tingkatan (Lewicki dan Bunker dalam Kopp et al. 2003) yaitu: calculus-based trust, knowledge-based trust, dan identification-based trust. Calculus-based trust menunjukkan tingkat kepercayaan auditor yang rendah terhadap klien, dimana trust didasarkan pada penaksiran rasional dari biaya relatif dan manfaat dari setiap alternatif. based trust terjadi karena auditor yang baru pertama kali mengaudit klien tersebut. Knowledge-based trust merupakan trust yang didasarkan pada sejarah interaksi antara individual. Pada tingkat ini, kepercayaan auditor didasarkan pada hubungan kerja yang terjalin. Identification-based trust merupakan tingkat yang tertinggi dari trust. Seseorang mempercayai orang lain karena ia dapat mengidentifikasi keinginan dan intensi dari orang lain tersebut. Pada tingkat ini kepercayaan auditor terhadap klien didasarkan pada hubungan kerja dan hubungan di luar pekerjaannya. Fraud risk assessment (penaksiran risiko kecurangan) yaitu penaksiran seberapa besar risiko kegagalan auditor dalam mendeteksi terjadinya kecurangan dalam asersi manajemen. Variabel independen fraud risk assessment (penaksiran risiko kecurangan), dibedakan menjadi 3 tingkatan: tinggi, rendah, dan tanpa pemberitahuan. Pengukuran ini sesuai dengan penelitian sebelum dari Pane dan Ramsay (2005).
Tipe kepribadian adalah karakteristik tertentu dari individu yang menggambarkan cara-cara yang ditempuh individu tersebut dalam bereaksi terhadap dan berinteraksi dengan orang lain. Dalam penelitian ini tipe kepribadian diukur dengan 2 level yaitu tipe kepribadian kombinasi ST dan NT, dan tipe kepribadian lainnya. Pengukuran tipe kepribadian ini menggunakan test kepribadian dari Myers- Briggs yaitu Myers-Briggs Type Indicator.
Variabel Dependen
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah skeptisme profesional, yaitu sikap auditor yang akan membawa pada tindakannya yang selalu menanyakan dan menaksir secara kritis terhadap bukti audit. Berdasarkan model HEP (Hurtt, Eining, Plumlee 2003), variabel skeptisme profesional diukur dengan enam karakteristik sebagai indikatornya. Tiga karakteristik yang pertama terkait dengan pengujian bukti audit meliputi: (1) o questioning mind, (2) the suspension o f judgment, (3) a search fo r knowledge. Karakteristik keempat terkait dengan pemahaman bukti audit yaitu (4) interpersonal understanding. Dua karakteristik berikutnya terkait dengan
inisiatif seseorang untuk bersikap skeptis berdasarkan bukti yang diperolehnya yaitu (5) self-confidence, dan (6) self-determination. Skeptisme profesional diukur dengan skala Likert 6 point yang menggambarkan jawaban subyek terhadap pertanyaan yang terkait dengan keenam karakterisitik sikap skeptisme profesional, mulai dari ’’sangat setuju” (1) sampai dengan ’’sangat tidak setuju” (6).

Metodologi Penelitian :
Desain Penelitian
Studi ini merupakan studi eksplanasi yang berkaitan dengan pengujian hipotesis dan dilakukan untuk mendapatkan pemahaman mengenai sifat hubungan tertentu, atau menentukan perbedaan antar kelompok atau kebebasan (independensi) dari dua atau lebih faktor. Penelitian ini dilakukan dalam situasi yang diatur yaitu dengan menggunakan desain eksperimen laboratorium.
Desain Eksperimen
Penelitian ini menggunakan 2 macam eksperimen. Eksperimen pertama digunakan untuk mendukung pengujian terhadap hipotesis 1. Sedangkan eksperimen kedua digunakan untuk mendukung pengujian terhadap hipotesis 2. Manipulasi terhadap variabel independen secara sederhana dilakukan dengan membuat tingkatan yang berbeda pada variabel independen untuk menilai bagaimana dampak dari tiaptiap tingkatan tersebut terhadap variabel dependen, sehingga dengan melakukan manipulasi maka tingkat pengaruh kausal dapat dibuktikan (Sekarang 2000).
Eksperimen pertama mempunyai desain faktorial between subject (antar subyek) 3 x 3 , dengan variabel independen: kepercayaan (calculus-based trust, knowledge based trust, dan identification based trust), dan penaksiran risiko kecurangan (tinggi, rendah, dan tanpa pemberitahuan) dan variabel dependen skeptisme profesional. Kombinasi dari between subjects experimental treatments (perlakuan eksperimental antar subyek) akan menghasilkan 9 kelompok subyek. Pada eksperimen kedua, semua subyek mendapat treatment yang sama. Variabel independennya adalah tipe kepribadian (tipe kepribadian ST dan NT, dan tipe kepribadian lainnya). Variabel dependennya adalah sikap skeptisme professional auditor.
Subyek Eksperimen
Berdasarkan pengamatan awal peneliti, jenjang jabatan auditor di Indonesia dibagi menjadi: managing partner, partner, manager, supervisor, senior, dan junior. Sikap skeptisme profesional yang diukur dalam penelitian ini adalah sikap skeptisme auditor dalam memperoleh dan mengevaluasi bukti audit. Oleh karena itu yang menjadi subyek dalam penelitian ini adalah auditor yang bertugas di lapangan yang berhadapan langsung dengan bukti audit, yaitu auditor yunior, auditor senior dan supervisor auditor yang bekerja di kantor akuntan publik di Jakarta. Kegiatan eksperimen diikuti oleh 118 auditor, tetapi hasil eksperimen yang dapat digunakan adalah 110 karena 8 diantaranya gagal dalam test manipulasi.

Hasil Penelitian :
Menunjukkan rata-rata skeptisme profesional auditor pada berbagai level kepercayaan (identification, knowledge, dan calculus based trust) dan pada berbagai level penaksiran risiko kecurangan (tinggi, renuah, dan tanpa pemberitahuan). Untuk menguji perbedaan rata-rata skeptisme profesional auditor tersebut digunakan uji statistik 3 x 3 ANOVA dengan program SPSS. Karena ada lebih dari satu variabel independen maka harus ada homogeneity o f variance dalam cell yang dibentuk oleh variabel independen tersebut. SPSS melakukan pengujian ini melalui Levene’s test dengan hasil nilai F sebesar 1,018 dan tidak signifikan (p>0,05). Artinya hipotesis nol tidak dapat ditolak, error variance dari variabel skeptisme profesional antar grup adalah sama, dan asumsi ANOVA terpenuhi. risiko kecurangan. Hasil pengujian juga menunjukkan ada interaksi antara tingkat kepercayaan auditor dengan penaksiran risiko kecurangan (p<0,05). Untuk melihat perbedaan skeptisme profesional auditor pada berbagai kondisi interaksi dilakukan perbandingan rata-rata skeptisme profesional dari 9 kelompok subyek yang terbentuk dari desain eksperimen (tabel 1), pengujian dilakukan dengan one way ANOVA. menunjukkan hasil uji ANOVA, variabel trust (p=0,000) dan penaksiran risiko kecurangan (p=0,000) signifikan pada 0,05. Jadi ada perbedaan skeptisme profesional pada berbagai level kepercayaan dan pada berbagai level Perbedaan skeptisme profesional dari tiap kelompok subyek, auditor dengan identification based trust yang diberi penaksiran risiko kecurangan yang tinggi secara signifikan lebih skeptis dibandingkan dengan auditor yang tidak diberi penaksiran risiko kecurangan (p=0,045), juga secara signifkan lebih skeptic dibandingkan dengan auditor yang diberi penaksiran risiko kecurangan yang rendah (p=0,000). Hasil ini mendukung hipotesis 1.
Analisis Jurnal :
Penelitian ini berusaha untuk menjelaskan teori disonansi kognitif dari Festinger yang terjadi dalam setting auditing yang dapat mempengaruhi sikap skeptisme profesional auditor. Untuk itu dilakukan pengujian empiris dengan melihat pengaruh penaksiran risiko kecurangan pada auditor yang memiliki berbagai tingkat kepercayaan terhadap klien terhadap sikap skeptisme profesional auditor. Selain itu juga diuji apakah tipe kepribadian auditor akan mempengaruhi sikap skeptismenya. Terdapat 2 temuan dalam penelitian ini: Pertama, terdapat dukungan data yang signifikan secara statistik untuk hipotesis 1, yang menyatakan bahwa auditor dengan tingkat kepercayaan berbasis identifikasi (identification-based trust) jika diberi penaksiran risiko kecurangan yang tinggi akan menunjukkan skeptisme profesional yang lebih tinggi dalam mendeteksi kecurangan. Hal ini membuktikan bahwa ketika mengalami disonansi kognitif auditor memilih bersikap sesuai dengan petunjuk dari atasannya. Oleh karena itu auditor yang diberi penaksiran risiko kecurangan yang tinggi lebih skeptis dibanding auditor yang tidak diberi
penaksiran risiko kecurangan dan auditor yang diberi penaksiran risiko kecurangan yang rendah. Sedangkan auditor dengan tingkat kepercayaan berbasis kalkulus (calculus-based trust) meskipun diberi penaksiran risiko kecurangan yang rendah akan menunjukkan skeptisme profesional yang tidak berbeda dengan auditor yang tidak diberi penaksiran risiko kecurangan dan dengan auditor yang diberi penaksiran risiko kecurangan yang tinggi. Dengan kata lain, pada saat auditor tidak mengalami disonansi kognitif, tinggi rendahnya tingkat penaksiran risiko kecurangan tidak mempengaruhi skeptismenya. Auditor tetap dapat mempertahankan sikap skeptisnya sesuai dengan norma dan tingkat kepercayaannya terhadap klien. Kedua, terdapat dukungan data yang signifikan secara statistik untuk hipotesis 2 yang mengatakan bahwa tipe kepribadian mempengaruhi sikap skeptisme profesional auditor. Hasil temuan dalam penelitian ini bermanfaat dalam memperkaya literatur akuntansi keperilakuan dengan membuktikan adanya
Noviyanti, Skeptisme Profesional Auditor Dalam Mendeteksi Kecurangan 123 disonansi kognitif dalam setting auditing dan membuktikan adanya pengaruh karakteristik personal yaitu tipe kepribadian terhadap sikap seseorang. Temuan ini juga memberikan kontribusi bagi praktisi terutama bagi pimpinan kantor akuntan publik untuk meningkatkan kualitas audit.


OPINI TENTANG PENGERTIAN “ DESKRIPSI ETIKA DAN PROFESI”


NAMA  : VINA ALPIYANI
NPM     : 27211283
KELAS : 4EB05
SOFTSKILL
OPINI TENTANG PENGERTIAN
“ DESKRIPSI ETIKA DAN PROFESI”

Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah sebuah sesuatu dimana dan bagaimana cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral.Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab.
Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika. Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi.Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik.

Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan kita.Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain. Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia. Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika).
DEFINISI ETIKA
Menurut Sumaryono (1995) : Etika berkembang menjadi studi tentang manusia berdasarkan kesepakatan menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan manusia pada umumnya. Selain itu etika juga berkembang menjadi studi tentang kebenaran dan ketidakbenaran berdasarkan kodrat manusia yang diwujudkan melalui kehendak manusia. Menurut Bertens, Nilai- nilai atau norma – norma yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Dan menurut KBBI, Etika dirumuskan dalam 3 arti yaitu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, nilai yang berkenaan dengan akhlak, dan nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat yang memiliki etika yang baik dalam kehidupan sehari-hari.

Ada dua macam etika yang harus kita pahami bersama dalam menentukan baik dan buruknya prilaku manusia:
1.     Etika Deskriptif, yaitu etika yang berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan prilaku  manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika deskriptif memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang prilaku atau sikap yang mau diambil.

2.     Etika Normatif, yaitu etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola prilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika normatif memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan.

Etika secara umum dapat dibagi menjadi :

1.     Etika Umum, berbicara mengenai kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia bertindak secara etis, bagaimana manusia mengambil keputusan etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolak ukur dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan. Etika umum dapat di analogkan dengan ilmu pengetahuan, yang membahas mengenai pengertian umum dan teori-teori.

2.     Etika Khusus, merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus. Penerapan ini bisa berwujud : Bagaimana saya mengambil keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan dan kegiatan khusus yang saya lakukan, yang didasari oleh cara, teori dan prinsip-prinsip moral dasar.
Namun, penerapan itu dapat juga berwujud : Bagaimana saya menilai perilaku saya dan orang lain dalam bidang kegiatan dan kehidupan khusus yang dilatarbelakangi oleh kondisi yang memungkinkan manusia bertindak etis, cara bagaimana manusia mengambil suatu keputusan atau tidanakn, dan teori serta prinsip moral dasar yang ada dibaliknya.

Etika Khusus dibagi lagi menjadi dua bagian :
A.    Etika individual, yaitu menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri.
B.    Etika sosial, yaitu berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai anggota umat manusia.

        Perlu diperhatikan bahwa etika individual dan etika sosial tidak dapat dipisahkan satu sama lain dengan tajam, karena kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan sebagai anggota umat manusia saling berkaitan. Etika sosial menyangkut hubungan manusia dengan manusia baik secara langsung maupun secara kelembagaan (keluarga, masyarakat, negara), sikap kritis terhadap pandangan-pandangana dunia dan idiologi-idiologi maupun tanggung jawab umat manusia terhadap lingkungan hidup.

Manfaat Etika

Beberapa manfaat Etika adalah sebagai berikut :
1. Dapat membantu suatu pendirian dalam beragam pandangan dan moral.
2. Dapat membantu membedakan mana yang tidak boleh dirubah dan mana
    yang boleh dirubah.
3. Dapat membantu seseorang mampu menentukan pendapat.
4. Dapat menjembatani semua dimensi atau nilai-nilai

        Dengan demikian luasnya lingkup dari etika sosial, maka etika sosial ini terbagi atau terpecah menjadi banyak bagian atau bidang. Dan pembahasan bidang yang paling aktual saat ini adalah sebagai berikut :

1. Sikap terhadap sesama
2. Etika keluarga
3. Etika profesi
4. Etika politik
5. Etika lingkungan
6. Etika idiologi

Pengertian Profesi

Profesi adalah pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus. Suatu profesi biasanya memiliki asosiasi profesi, kode etik, serta proses sertifikasi dan lisensi yang khusus untuk bidang profesi tersebut. Contoh profesi adalah pada bidang hukum, kedokteran, keuangan, militer,teknikdan desainer.  Pekerjaan tidak sama dengan profesi. Istilah yang mudah dimengerti oleh masyarakat awam adalah: sebuah profesi sudah pasti menjadi sebuah pekerjaan, namun sebuah pekerjaan belum tentu menjadi sebuah profesi. Profesi memiliki mekanisme serta aturan yang harus  dipenuhi sebagai suatu ketentuan, sedangkan kebalikannya, pekerjaan tidak memiliki aturan yang rumit seperti itu. Hal inilah yang harus diluruskan di masyarakat, karena hampir semua orang menganggap bahwa pekerjaan dan profesi adalah sama.  
Ciri-ciri profesi
Secara umum ada beberapa ciri atau sifat yang selalu melekat pada profesi, yaitu :
1.     Adanya pengetahuan khusus, yang biasanya keahlian dan keterampilan ini dimiliki berkat pendidikan, pelatihan dan pengalaman yang bertahun-tahun.
2.     Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Hal ini biasanya setiap pelaku profesi mendasarkan kegiatannya pada kode etik profesi.
3.     Mengabdi pada kepentingan masyarakat, artinya setiap pelaksana profesi harus meletakkan kepentingan pribadi di bawah kepentingan masyarakat.
4.     Ada izin khusus untuk menjalankan suatu profesi. Setiap profesi akan selalu berkaitan dengan kepentingan masyarakat, dimana nilai-nilai kemanusiaan berupa keselamatan, keamanan, kelangsungan hidup dan sebagainya, maka untuk menjalankan suatu profesi harus terlebih dahulu ada izin khusus.
5.     Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu profesi.

Karakteristik profesi

1.     Keterampilan yang berdasarkan pada pengetahuan teoritis : Professional dapat diasumsikan mempunyai pengetahuan teoritis yang ekstensif dan memiliki keterampilan yang berdasarkan pada pengetahuan tersebut dan bisa diterapkan dalam praktik.
2.     Assosiasi professional : Profesi biasanya memiliki badan yang diorganisasi oleh para anggotanya, yang dimaksudkan untuk meningkatkan status para anggotanya.
3.     Pendidikan yang ekstensif : Profesi yang prestisius biasanya memerlukan pendidikan yang lama dalam jenjang pendidikan tinggi.
4.     Ujian kompetensi : Sebelum memasuki organisasi professional, biasanya ada persyaratan untuk lulus dari suatu tes yang menguji terutama pengetahuan teoritis.
5.     Pelatihan institusional : Selain ujian, biasanya dipersyaratkan untuk mengikuti pelatihan institusional dimana calon profesional mendapatkan pengalaman praktis sebelum menjadi anggota penuh organisasi.
6.     Lisensi : Profesi menetapkan syarat pendaftaran dan proses sertifikasi sehingga hanya mereka yang memiliki lisensi bisa dianggap bisa dipercaya.
7.     Otonomi kerja : Profesional cenderung mengendalikan kerja dan pengetahuan teoretis mereka agar terhindar adanya intervensi dari luar.
8.     Kode etik : Organisasi profesi biasanya memiliki kode etik bagi para anggotanya dan prosedur pendisiplinan bagi mereka yang melanggar aturan.
PROFESIONALISME

Pengertian Professional / Professionalisme

Orang yang mempunyai profesi atau pekerjaan purna waktu dan hidup dari pekerjaan itu dengan mengandalkan suatu keahlian yang tinggi.  Atau seorang profesional adalah seseorang yang hidup dengan mempraktekkan suatu keahlian tertentu atau dengan terlibat dalam suatu kegiatan tertentu yang menurut keahlian, sementara orang lain melakukan hal yang sama sebagai sekedar hobi, untuk senang – senang atau untuk mengisi waktu luang.

Perbedaan Profesi & Profesional :

Profesi
1.     Mengandalkan suatu keterampilan atau keahlian khusus.
2.     Dilaksanakan sebagai suatu pekerjaan atau kegiatan utama (purna waktu).
3.     Dilaksanakan sebagai sumber utama nafkah hidup.
4.     Dilaksanakan dengan keterlibatan pribadi yang mendalam.
Profesional
1.     Orang yang tahu akan keahlian dan keterampilannya.
2.     Meluangkan seluruh waktunya untuk pekerjaan atau kegiatannya itu.
3.     Hidup dari situ.
4.     Bangga akan pekerjaannya.

Ciri – Ciri Profesionalisme

Orang-orang yang memiliki tolak ukur perilaku yang berada di atas rata - rata. Di satu pihak ada tuntutan dan tantangan yang sangat berat, tetapi di lain pihak ada suatu kejelasan mengenai pola perilaku yang baik dalam rangka kepentingan masyarakat. Seandainya semua bidang kehidupan dan bidang kegiatan menerapkan suatu. Standar profesional yang tinggi, bisa diharapkan akan tercipta suatu kualitas masyarakat yang semakin baik.

Prinsip Etika Profesi :
1.     Terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan terhadap hasilnya.
2.     Terhadap dampak dari profesi itu untuk kehidupan orang lain atau masyarakat pada umumnya.
3.     Keadilan Prinsip ini menuntut kita untuk memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya.
4.     Otonomi Prinsip ini menuntut agar setiap kaum profesional memiliki dan diberi kebebasan dalam menjalankan profesinya.

Kode Etik Profesi / Profesionalisme
Pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam melaksanakan tugas dan dalam kehidupan sehari-hari, Tujuan Kode Etik :
1.     Untuk menjunjung tinggi martabat profesi.
2.     Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota.
3.     Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi.
4.     Untuk meningkatkan mutu profesi.
5.     Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi.
6.     Meningkatkan layanan di atas keuntungan pribadi.
7.     Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.
8.     Menentukan baku standarnya sendiri.

Sumber :