OPINI TENTANG JOB SEEKER VS JOB CREATOR
Pemerhati kewirausahaan menyatakan bahwa sebagian besar
lulusan Perguruan Tinggi adalah lebih sebagai pencari kerja (job seeker)
daripada pencipta lapangan pekerjaan (job creator). Hal ini disebabkan
sistem pembelajaran yang diterapkan di berbagai perguruan tinggi saat ini, yang
umumnya lebih terfokus pada ketepatan lulus dan kecepatan memperoleh pekerjaan,
dan memarginalkan kesiapan untuk menciptakan pekerjaan.
Mengingat kondisi sosial ekonomi sedang lemah serta sulitnya
mencari pekerjaan di sektor pemerintahan atau pegawai negeri yang membutuhkan
berbagai persyaratan melalui jenjang pendidikan, maka situasi tersebut
menimbulkan semakin banyak peluang bagi orang-orang untuk mencari atau
membentuk usaha pribadi melalui gagasan atau ketrampilan yang dimiliki.
Pembangunan sumber daya manusia perlu dilaksanakan secara menyeluruh, terarah,
dan terpadu di berbagai bidang, terutama yang mencakup bidang pendidikan,
latihan, serta penyediaan lapangan kerja. Salah satu usaha yang membutuhkan
tantangan,ketrampilan,serta minat yang kuat tersebut adalah dengan berwirusaha.
Masih sulit mengubah mindset masyarakat dengan menjadikan
wirausahawan sebagai profesi utama. Selama ini bukan profesi utama yang ingin
digeluti sebagian besar masyarakat Indonesia. Sebagian besar lebih memilih
menjadi tentara, dokter dan profesi lainnya. Kemampuan mengembangkan potensi
diri ini menjadi masalahnya. Solusi yang harus dilakukan dengah mengubah mindset
para mahasiswa dari pencari kerja menjadi pencipta lapangan kerja. Dari job
seeker menjadi job creater. Meskipun tidak mudah mengubah mindset mahasiswa
untuk keluar dari zona nyaman. “Mau tidak mahasiswa merubah mindsetnya. Kadang
mahasiswa itu gengsi untuk berjualan. Masalah harus ada stimulus bahwa
keinginan jadi wirausahawan bukan nomer dua atau nomer tiga. Jangan sampai
mahasiswa berlindung dibalik status mahasiswanya. Kalau sudah lulus harus
bersaing ketat,” ujar Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Universitas Pasundan
Dr.Jaja Suteja di Kampus Unpas, Kamis (21/3/2013).
Menurutnya, untuk itu mahasiswa harus didorong punya jiwa
wirausaha karena secara makroekonomi juga akan membantu pemerintah. Kedepan
perguruan tinggi didorong tidak hanya menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai
tapi juga dapat menciptakan lapangan kerja. Salah satunya dapat dilakukan
melalui kurikulum sebagai sesuatu yang bisa mentransform mahasiswa yang kurang
memiliki nilai menjadi outputnya memiliki nilai tambah melalui jiwa wirausaha.
Dia mengemukakan untuk menumbuhkan jiwa wirausaha di Unpas diterapkan hidden
kurikulum kewirausahaan pada kurikulum berbasis kompetensi. Kurikulum dimana
beberapa matakuliah itu melakukan praktek wirausaha. “Kurikulum berbasis
wirausaha bersifat hidden kurikulum yang bisa dimasukan di setiap mata kuliah.
Tidak hanya fakultas ekonomi saja tapi juga fakultas lain,” katanya.
Untuk menumbuh kembangkan jiwa kewirausahaan dan
meningkatkan aktivitas kewirausahaan agar para lulusan perguruan tinggi lebih
menjadi pencipta lapangan kerja maka para mahasiswa diberi materi Kewirausahaan
sebagai mata kuliah dimana diberikan satu minggu satu kali tatap muka. Dengan
adanya mata kuliah Kewirausahaan diharap dapat merubah mindset para lulusan
perguruan tinggi untuk cenderung memilih mandiri dan berusaha (job creator)
daripada sebagai pencari kerja (job seeker).
Ada beberapa sebab yang melatar belakangi banyaknya
penggangguran tingkat Diploma dan Perguruan Tinggi tersebur dalam hal
berwirausaha, diantaranya :
1.
Sebagaian
besar para lulusan Perguruan Tinggi cenderung sebagai pencari kerja (job
seeker) daripada sebagai pencipta lapangan pekerjaan (job creator).
2.
Kurang
nya informasi, dukungan, motivasi dan pengetahuan tentang kewirausahaan
3.
Kurangnya
informasi, dukungan dan pengetahuan dari pemerintah, keluarga dan tempat
pendidikan tentang dunia kewirausahaan.
Beberapa alasan-alasan tersebut di atas menyebabkan mereka
didorong untuk menjadi pegawai negeri atau swasta setelah lulus dari
Perguruan tinggi, belum ada dukungan yang maksimal baik dari keluarga,
pemerintah maupun dunia Pendidikan untuk mandiri atau berwirausaha. Dengan
rendahnya tingkat keinginan para lulusan terdidik (diploma dan sarjana) untuk
berwirausaha, maka jumlah lapangan pekerjaan semakin sempit sedangkan
jumlah pengangguran semakin meningkat. Untuk itu perlu adanya sinergi dan
dukungan dari berbagai pihak untuk mewujudkan minat para generasi muda
berwirausaha sehingga mereka dapat menciptakan lapangan kerja sendiri dan orang
lain yangmana nantinya dapat mengurangi jumlah penggangguran terdidik di
Indonesia. Diharapkan dengan adanya minat para lulusan perguruan tinggi untuk
mandiri, berwirausaha maka akan meningkat pula aktivitas entrepreneurial
(berwirausaha) sehingga dapat tercipta bisnis baru, peluang pekerjaan dan
berkurangnya penggangguran. job creator berarti mengurangi pengangguran
karena kita dapat membuka peluang kerja bagi orang lain. So, satu langkah
justru bisa menjadi berkah bagi banyak pihak.
Strategi Perubahan Mindset Lulusan Perguruan
Tinggi dari Job Seeker menjadi Job creator
Setiap Perguruan tinggi harus bisa melahirkan mahasiswa yang
kreatif. Pentingnya menciptalan Fleksibilitas dalam belajar di perguruan
tinggi akan ikut mendorong lahirnya kreativitas dan inovasi bagi setiap
lulusannya. Pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi bertujuan untuk
membentuk manusia secara utuh (holistik), sebagai insan yang memiliki
karakter, pemahaman dan ketrampilan sebagai wirausaha. Pendidikan kewirausahaan
dapat diimplementasikan secara terpadu dengan kegiatan-kegiatan pendidikan yang
dilakukan oleh dosen dan mahasiswa secara bersama-sama dalam komunitas
pendidikan sehingga diharapkan akan menciptakan mindset sebagai seorang
pencipta kerja (job creator). Berikut ini adalah strategi mengubah Mindset Lulusan Perguruan Tinggi dari Job Seeker
menjadi Job creator.
Perbedaan yang dapat dilihat pada saat jadi pengusaha dan
menjadi karyawan yaitu:
Pengusaha:
1. membuka lapangan pekerjaan
1. membuka lapangan pekerjaan
2.
mandiri + independen
3.
bebas
4.
lebih kreatif dan dinamis
2.
tidak independen
3.
terkungkung dan terkekang
4.
hanya jadi "pelayan" bagi atasan
Sumber:
http://ekonomi.kompasiana.com