Senin, 22 April 2013

HUKUM PERJANJIAN



1.      STANDAR KONTRAK
            Perjanjian yang telah ditentukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah. Perjanjian baku adalah perjanjian yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi siapapun yang menutup perjanjian dengannya tanpa kecuali, dan disusun terlebih dahulu secara sepihak serta dibangun oleh syarat-syarat standar, ditawarkan pada pihak lain untuk disetujui dengan hampir tidak ada kebebasan bagi pihak yang diberi penawaran untuk melakukan negosiasi atas apa yang ditawarkan, sedangkan hal yang dibakukan, biasanya meliputi model, rumusan, dan ukuran.Kontrak standar umum artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh kreditur dan disodorkan kepada debitur dan Kontrak standar khusus, artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya dan berlakunya untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah.

2.      MACAM-MACAM PERJANJIAN
Macam-macam perjanjian obligator ialah sebagai berikut:
a. Perjanjian dengan cumua-Cuma dan perjanjian dengan beban.
- Perjanjian dengan Cuma-Cuma ialah suatu perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi  dirinya sendiri. (Pasal 1314 ayat (2) KUHPerdata).
- Perjanjian dengan beban ialah suatu perjanjian dimana salah satu pihak memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
b. Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik.
- Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja.
- Perjanjian timbal balik ialah suatu perjanjian yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.

3.      SYARAT SAHNYA PERJANJIAN
            Penjajian harus memenuhi beberapa syarat tertentu supaya dapat dikatakan sah. Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, ada empat syarat yang harus dipenuhi supaya suatu perjanjian sah, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
3. Mengenai suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal.
            Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orang atau subyek-subyek yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Secara ringkas masing-masing syarat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak dengan tiada paksaan, kekeliruan, dan penipuan.

4.    SAAT LAHIRNYA PERJANJIAN
            Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik yaitu keinginan subyek hukum untuk berbuat sesuatu, kemudian mereka mengadakan negosiasi dengan pihak lain, dan sudah barang tentu keinginan itu sesuatu yang baik. Itikad baik yang sudah mendapat kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian untuk ditaati oleh kedua belah pihak sebagai suatu peraturan bersama. Isi perjanjian ini disebut prestasi yang berupa penyerahan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu perbuatan.

5.    PEMBATALAN DAN PELAKSANAAN SUATU PERJANJIAN
Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat  perjanjian atau pun batal demi hukum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak biasanya terjadi karena:
·         Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
·         Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.
·         Terkait resolusi atau perintah pengadilan
·         Terlibat hukum
·         Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan atau wewenang dalam melaksankan perjanjian
Pelaksanaan perjanjia
baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata merupakan ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, artinya pelaksanaan perjanjian harus harus megindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Salah satunya untuk memperoleh hak milik ialah jual beli. Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian  itu mencapai tujuannya. Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh diatur atau dibatalkan secara sepihak saja.



SUMBER : vanezintania.wordpress.com/2011/05/13/macam-macam-perjanjian/
http://sbwicaksono.blogspot.com/2012/03/pembatalan-dan-pelaksanaan-suatu.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar